BAB 1
PENDAHULUAN
Reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD
1945 karena yang menjadi causa prima penyebab tragedi nasional mulai dari
gagalnya suksesi kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis sosial-politik,
bobroknya managemen negara yang mereproduksi KKN, hancurnya nilai-nilai rasa
keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum akibat telah dikooptasi
kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia 1945. Itu terjadi karena fundamen
ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang demokratis
yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga terlalu
menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada penyelenggara
negara.
Akibatnya dalam penerapannya kemudian bergantung pada
penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan
kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama
(1959 – 1966) dan orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga
siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan UUD yang kesemuanya itu akan
berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa konsep dasar Negara?
2.
Apa konsep dasar konstitusi?
3.
Bagaimanakah
hubungan antara negara dan konstitusi?
4.
Bagaimana
keberadaan Pancasila dan konstitusi di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR NEGARA
1. Pengertian Negara
a. Secara Etimologi (Bahasa)
Istilah
Negara merupakan terjemahan dari beberapa bahasa asing: state (inggris), staat
(Belanda dan Jerman), atau etat (Prancis).
b.
Secara
therminologi
Negara
merupakan suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia
yang secara bersama-sama mendiami suatu wilayah (territorial) tertentu dengan
mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan
sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang ada di wilayahnya.Organisasi
negara dalam suatu wilayah bukanlah satu-satunya organisasi, ada
organisasi-organisasi lain (keagamaan, kepartaian, kemasyarakatan dan
organisasi lainnya yang masing-masing memiliki kepribadian yang lepas dari
masalah kenegaraan). Secara umum negara dapat diartikan sebagai suatu
organisasi utama yang ada di dalam suatu wilayah karena memiliki pemerintahan
yang berwenang dan mampu untuk turut campur dalam banyak hal dalam bidang
organisasi-organisasi lainnya.
c.
Menurut
para ilmuan
1.
George
Gelinek
Negara
adalah organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang berkediaman dalam
wilayah tertentu.
2.
Kranenburg
Negara
adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari satu golongan atau
bangsa sendiri.
3.
Roger
F Soult
Negara
adalah alat (agency) atau wewenang atau authority yang mengatur atau
mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
4.
Carl
Schmitt
Negara
adalah sebagai suatu ikatan dari manusia yang mengorganisasi dirinya dalam
wilayah tertentu.
2. Tujuan
Negara
Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan
orang-orang yang mendiaminya, Negara harus mempunyai tujuan yang disepakati
bersama. Tujuan sebuah Negara dapat bermacam-macam, antara lain:
a. Bertujuan
untuk memperluas kekuasaan.
b. Bertujuan
untuk menyelenggarakan ketertiban hukum.
c. Bertujuan
untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dalam tradisi Barat, pemikiran tentang terbentuknya
suatu Negara memiliki tujuan tertentu sesuai model Negara tersebut. Dalam
konsep dan ajaran plato, tujuan adanya Negara adalah untuk memajukan kesusilaan
manusia, sebagai perorangan (individu) dan sebagai makhluk sosial. Berbeda
dengan plato, menurut ajaran dan konsep teokratis Thomas Aquinas dan Agustinus,
tujuan Negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tentram
dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan. Pemimpin Negara menjalankan
kekuasaanya hanya berdasarkan kekuasaan tuhan yang diberikan kepadanya.
Dalam islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu
Arabi, tujuan Negara adalah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan
baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi pihak-pihak asing. Paradigma
ini di dasarkan pada konsep sosiohistoris bahwa manusia diciptakan oleh Allah
SWT. Dengan watak dan kecenderungan yang berkumpul dan bermasyarakat, yang
membawa konsekuensi antara individu-individu satu sama lain saling membutuhkan
bantuan. Sedangkan, menurut ibnu Khaldun, tujuan Negara adalah untuk mengusahakan
kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat.
Dalam konteks Negara Indonesia, tujuan Negara
adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dau
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi,
keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam pembukaan dan penjelasan UUD 1945.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan suaatu Negara yang
bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk suatu masyarakat adil
dan makmur.
Ada beberapa teori tentang tujuan Negara:
1. Teori
Kekuasaan
ShangØ
Yang, yang hidup di negeri China sekitar abad V-IV SM menyatakan bahwa tujuan
negara adalah pembentukan kekuasaan negara yang sebesar-besarnya. Menurut dia,
perbedaan tajam antara negara dengan rakyat akan membentuk kekuasaan negara. “A
weak people means a strong state and a strong state means a weak people.
Therefore a country, which has the right way, is concerned with weakening the
people.” Sepintas ajaran Shang Yang sangat kontradiktif karena menganggap
upacara, musik, nyanyian, sejarah, kebajikan, kesusilaan, penghormatan kepada
orangtua, persaudaraan, kesetiaan, ilmu (kebudayaan, ten evils) sebagai
penghambat pembentukan kekuatan negara untuk dapat mengatasi kekacauan (yang
sedang melanda China saat itu). Kebudayaan rakyat harus dikorbankan untuk
kepentingan kebesaran dan kekuasaan negara.
Niccolo Machiavelli, dalam bukunyaØ
Il Principe menganjurkan agar raja tidak menghiraukan kesusilaan maupun agama.
Untuk meraih, mempertahankan dan meningkatkan kekuasaannya, raja harus licik,
tak perlu menepati janji, dan berusaha selalu ditakuti rakyat. Di sebalik
kesamaan teorinya dengan ajaran Shang Yang, Machiavelli menegaskan bahwa
penggunaan kekuasaan yang sebesar-besarnya itu bertujuan luhur, yakni
kebebasan, kehormatan dan kesejahteraan seluruh bangsa.
2. Teori
Perdamaian Dunia
Dalam bukunya yang berjudul De Monarchia
Libri III, Dante Alleghiere (1265-1321) menyatakan bahwa tujuan negara adalah
untuk mewujudkan perdamaian dunia. Perdamaian dunia akan terwujud apabila semua
negara merdeka meleburkan diri dalam satu imperium di bawah kepemimpinan
seorang penguasa tertinggi. Namun Dante menolak kekuasaan Paus dalam urusan
duniawi. Di bawah seorang mahakuat dan bijaksana, pembuat undang-undang yang
seragam bagi seluruh dunia, keadilan dan perdamaian akan terwujud di seluruh
dunia.
3. Teori
Jaminan atas Hak dan Kebebasan Manusia
Immanuel Kant (1724-1804) adalah
penganut teori Perjanjian Masyarakat karena menurutnya setiap orang adalah
merdeka dan sederajat sejak lahir. Maka Kant menyatakan bahwa tujuan negara
adalah melindungi dan menjamin ketertiban hukum agar hak dan kemerdekaan warga
negara terbina dan terpelihara. Untuk itu diperlukan undang-undang yang
merupakan penjelmaan kehendak umum (volonte general), dan karenanya harus
ditaati oleh siapa pun, rakyat maupun pemerintah. Agar tujuan negara tersebut
dapat terpelihara, Kant menyetujui azas pemisahan kekuasaan menjadi tiga
potestas (kekuasaan): legislatoria, rectoria, iudiciaria (pembuat, pelaksana,
dan pengawas hukum). Teori Kant tentang negara hukum disebut teori negara hukum
murni atau negara hukum dalam arti sempit karena peranan negara hanya sebagai
penjaga ketertiban hukum dan pelindung hak dan kebebasan warga negara, tak
lebih dari nightwatcher, penjaga malam). Negara tidak turut campur dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Pendapat Kant ini sangat sesuai dengan zamannya, yaitu tatkala terjadi pemujaan terhadap liberalisme (dengan semboyannya: laissez faire, laissez aller). Namun teori Kant mulai ditinggalkan karena persaingan bebas ternyata makin melebarkan jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin. Para ahli berusaha menyempurnakan teorinya dengan teori negara hukum dalam arti luas atau negara kesejahteraan (Welfare State). Menurut teori ini, selain bertujuan melindungi hak dan kebebasan warganya, negara juga berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara.
Pendapat Kant ini sangat sesuai dengan zamannya, yaitu tatkala terjadi pemujaan terhadap liberalisme (dengan semboyannya: laissez faire, laissez aller). Namun teori Kant mulai ditinggalkan karena persaingan bebas ternyata makin melebarkan jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin. Para ahli berusaha menyempurnakan teorinya dengan teori negara hukum dalam arti luas atau negara kesejahteraan (Welfare State). Menurut teori ini, selain bertujuan melindungi hak dan kebebasan warganya, negara juga berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara.
Kranenburg termasuk penganut teori
negara kesejahteraan. Menurut dia, tujuan negara bukan sekadar memelihara
ketertiban hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya.
Kesejahteran pun meliputi berbagai bidang yang luas cakupannya, sehingga
selayaknya tujuan negara itu disebut secara plural: tujuan-tujuan negara. Ia
juga menyatakan bahwa upaya pencapaian tujuan-tujuan negara itu dilandasi oleh
keadilan secara merata, seimbang.
Selain beberapa teori
tersebut, ada pula ajaran tentang tujuan negara sebagai berikut:
- Ajaran
Plato: Negara bertujuan memajukan kesusilaan manusia sebagai individu dan
makhluk sosial.
- Ajaran
Teokratis (Kedaulatan Tuhan): Negara bertujuan mencapai kehidupan yang aman dan
ternteram dengan taat kepada Tuhan. Penyelenggaraan negara oleh pemimpin
semata-mata berdasarkan kekuasaan Tuhan yang dipercayakan kepadanya.
(Tokoh utamanya:
Augustinus, Thomas Aquino).
- Ajaran Negara Polisi:
Negara bertujuan mengatur kemanan dan ketertiban masyarakat (Immanuel Kant).
- Ajaran Negara Hukum: Negara bertujuan
menyelenggarakan ketertiban hukum dan berpedoman pada hukum (Krabbe). Dalam
negara hukum, segala kekuasaan alat-alat pemerintahannya didasarkan pada hukum.
Semua orang – tanpa kecuali harus tunduk dan taat kepada hukum (Government not
by man, but by law = the rule of law). Rakyat tidak boleh bertindak semau gue
dan menentang hukum. Di dalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya
oleh negara, sebaliknya rakyat berkewajiban mematuhi seluruh peraturan
pemerintah/ negaranya.
Negara Kesejahteraan (WelfareØ State = Social Service State): Negara bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum. Negara adalah alat yang dibentuk rakyatnya untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kemakmuran dan keadilan sosial.
Negara Kesejahteraan (WelfareØ State = Social Service State): Negara bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum. Negara adalah alat yang dibentuk rakyatnya untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kemakmuran dan keadilan sosial.
3.
Unsur-unsur Negara
Suatu Negara harus memiliki tiga unsur penting
yaitu: rakyat atau masyarakat, wilayah, dan pemerintah. Ketiga unsure ini oleh Mahfud M.D disebut sebagai unsur
konstitutif. Tiga unsur ini harus ditunjang dengan unsure lainnya seperti
adanya konstitusi dan pangakuan dari dunia internasional yang di sebut dengan
unsur deklaratif.
1.
Masyarakat
Masyarakat
merupakan unsur terpenting dalam tatanan suatu negara. Masyarakat atau rakyat
merupakan suatu individu yang berkepentingan dalam suksesna suatu tatanan dalam
pemerintahan. Pentingnya unsur rakyat dalam suatu negara tidak hanya diperlukan
dalam ilmu kenegaraan (staatsleer) tetapi perlu juga perlu melahirkan apa yang
disebut ilmu kemasyarakatan (sosiologi) suatu ilmu pengetahuan baru yang khusus
menyelidiki, mempelajari hidup kemasyarakatan. Sosiologi merupakan ilmu
penolong bagi ilmu hukum tata negara.
2.
Wilayah
(teritorial)
Suatu
negara tidak dapat berdiri tanpa adanya suatu wilayah. Disamping pentingnya
unsur wilayah dengan batas-batas yang jelas, penting pula keadaan khusus
wilayah yang bersangkutan, artinya apakah layak suatu wilayah itu masuk suatu
negara tertentu atau sebaliknya dipecah menjadi wilayah berbagai negara. Apabila
mengeluarkan peraturan perundang-undangan pada prinsipnya hanya berlaku bagi
orang-orang yang berada di wilayahnya sendiri. Orang akan segera sadar berada
dalam suatu negara tertentu apabila melampaui batas-batas wilayahnya setelah
berhadapan dengan aparat (imigrasi negara) untuk memenuhi berbagai kewajiban
yang ditentukan.
Paul
Renan (Perancis) menyatakan satu-satunya ukuran bagi suatu masyarakat untuk
menjadi suatu negara ialah keinginan bersatu (le desir de’etre ansemble). Pada
sisi lain Otto Bauer menyatakan, ukuran itu lebih diletakkan pada keadaan
khusus dari wilayah suatu negara.
3. Pemerintahan
Ciri khusus dari pemerintahan dalam negara adalah pemerintahan memiliki kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan penduduk suatu negara dan berada dalam wilayah negara.
Ciri khusus dari pemerintahan dalam negara adalah pemerintahan memiliki kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan penduduk suatu negara dan berada dalam wilayah negara.
Ada
empat macam teori mengenai suatu kedaulatan, yaitu teori kedaulatan Tuhan,
kedaulatan negara, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat.
B. BENTUK-BENTUK
NEGARA
Negara memiliki bentuk yang
berbeda-beda. Secara umum, dalam konsep dan teori modern, Negara terbagi dalam dua
bentuk: Negara kesatuan (unitarianisme) dan Negara serikat (Federsi).
1. Neraga Kesatuan
Negara kesatuan adalah bentuk Negara yang merdeka dan
berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh
daerah. Namun dalam pelaksanaanya, Negara kesatuan ini terbagi kedalam dua
macam system pemerintahan: sentral dan otonomi.
a. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi
adalah system pemerintahan yang langsung dipimpin oleh pemerintah pusat,
sementara pemerintah daerah di bawahnya melaksanakan kebijakan pemerintah
pusat. Model pemerintahan orde baru di bawah pemerintah presiden Soeharto
adalah salah satu contoh system pemerintahan model ini.
b. Negara kesatuan dengan system
desentralisasi adalah kepala daerah diberikan kesempatan dan kewenangan untuk
mengurus urusan pemerintahan di wilayahnya sendiri. System ini dikenal dengan
istilah otonomi daerah atau swatantra. System pemerintahan Negara Malaysia dan
pemerintahan pasca orde baru di Indonesia dengan system otonomi khusus dapat
dimasukkan ke dalam model ini.
2. Negara Serikat
Negara serikat atau federasi merupakan bentuk Negara
gabungan yang terdiri dari beberapa Negara bagian dan sebuah Negara serikat.
Pada mulanya Negara-negara bagian tersebut merupakan Negara merdeka, berdaulat,
dan berdiri sendiri. Setelah menggabungkan diri dengan Negara serikat, dengan
sendirinya Negara tersebut melepaskan sebagian dari kekuasaanya dan
menyerahkannya kepada Negara serikat.
Disamping dua bentuk ini, dari sisi pelaksana dan mekanisme
pemilihannya, bentuk Negara dapat digolongkan kedalam tiga kelompok: Monarki,
Oligarki, dan Demokrasi.
a.
Monarki
Pemerintahan monarki adalah mdel pemerintahan yang dikepalai
leh raja atau ratu. Dalam praktiknya, monarki memiliki dua jenis: monarki
absolute dan monarki konstitusional. Monarki absolute adalah model pemerintahan
dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu orang Raja atau ratu. Yang termasuk
dalam kategori ini adalah arab Saudi. Sedangkan, Monarki konstitusional adalah
bentuk pemerintahan yang kekuasaan kepala pemerintahannya (perdana mentri)
dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi Negara. Praktik konstitusi
konstitusional ini adalah yang paling banyak dipraktikkan di beberapa Negara,
seperti Malaysia, Thailand, Jepang, dan Inggris. Dalam model knstitusional ini,
kedudukan raja hanya sebatas symbol Negara.
b. Oligarki
Model pemerintahan oligarki adalah pemerintahan yang
dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dalam golongan atau kelompok
tertentu.
c. Demokrasi
Pemerintahan model demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang
bersandar pada kedaulatan rakyat atau mendasarkan kekuasaanya pada pilihan dan
kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu).
C. TEORI TENTANG TERBENTUKNYA NEGARA
1. Teori Negara
Istilah negara sudah dikenal sejak zaman
Renaissance, yaitu pada abad ke-15. Pada masa itu telah mulai digunakan istilah
Lo Stato yang berasal dari bahasa Italia, yang kemudian menjelma menjadi
L'etat' dalam bahasa Perancis, The State dalam bahasa Inggris atau Deer Staat
dalam bahasa Jerman dan De Staat dalam bahasa Belanda.
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian negara seperti dikemukakan oleh Aristoteles, Agustinus, Machiavelli dan Rousseau Sifat khusus daripada suatu Negara ada tiga yaitu sebagai berikut:
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian negara seperti dikemukakan oleh Aristoteles, Agustinus, Machiavelli dan Rousseau Sifat khusus daripada suatu Negara ada tiga yaitu sebagai berikut:
a. Memaksa
Sifat memaksa perlu dimiliki oleh suatu
negara, supaya peraturan perundang-undangan ditaati sehingga penertiban dalam
masyarakat dapat dicapai, serta timbulnya anarkhi bisa dicegah. Sarana yang
digunakan untuk itu adalah polisi, tentara. Unsur paksa ini dapat dilihat pada
ketentuan tentang pajak, di mana setiap warga negara harus membayar pajak dan
bagi yang melanggarnya atau tidak melakukan kewajiban tersebut dapat dikenakan
denda atau disita miliknya.
b. Monopoli
Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Negara berhak melarang suatu aliran kepercayaan atau aliran politik tertentu hidup dan disebarluaskan karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat.
Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Negara berhak melarang suatu aliran kepercayaan atau aliran politik tertentu hidup dan disebarluaskan karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat.
c. Mencakup
semua
Semua peraturan perundang-undangan
berlaku untuk semua orang tanpa, kecuali untuk mendukung usaha negara dalam
mencapai masyarakat yang dicita-citakan. Misalnya, keharusan membayar pajak.
Asal mula terjadinya negara dilihat
berdasarkan pendekatan teoretis ada beberapa macam, yaitu sebagai berikut:
1. Teori
Ketuhanan
Menurut teori ini negara terbentuk atas
kehendak Tuhan.
2. Teori Perjanjian
Teori ini berpendapat, bahwa negara
terbentuk karena antara sekelompok manusia yang tadinya masing-masing hidup
sendiri-sendiri, diadakan suatu perjanjian untuk mengadakan suatu organisasi
yang dapat menyelenggarakan kehidupan bersama.
3. Teori Kekuasaan
Kekuasaan adalah ciptaan mereka-mereka
yang paling kuat dan berkuasa
4. Teori Kedaulatan
Setelah asal usul negara itu jelas maka
orang-orang tertentu didaulat menjadi penguasa (pemerintah). Teori kedaulatan
ini meliputi:
a. Teori Kedaulatan Tuhan
Menurut teori ini kekuasaan tertinggi
dalam negara itu adalah berasal dari Tuhan.
b. Teori Kedaulatan Hukum
Menurut teori ini bahwa hukum adalah
pernyataan penilaian yang terbit dari kesadaran hukum manusia dan bahwa hukum
merupakan sumber kedaulatan.
c. Teori Kedaulatan Rakyat
Teori ini berpendapat bahwa rakyatlah
yang berdaulat dan mewakili kekuasaannya kepada suatu badan, yaitu pemerintah.
d. Teori Kedaulatan Negara
Teori ini berpendapat bahwa negara
merupakan sumber kedaulatan dalam negara. Kemudian, teori asal mula terjadinya
negara, juga dapat dilihat berdasarkan proses pertumbuhannya yang dibedakan
menjadi dua, yaitu terjadinya negara secara primer dan teori terjadinya negara
secara sekunder.
1. Terjadinya negara secara Primer :
Terjadinya negara secara primer adalah
bertahap yait dimulai dari adanya masyarakat hukum yang paling
sederhana,kemudian berevolusi ketingkat yang lebih maju dan tidak dihubungkan
dengan Negara yang telah ada sebelumnya.Dengan demikian terjadinya negara
secara primer adalah membahas asal mula terjadinya Negara yang pertama di
dunia.Menurut G. Jellinek, terjadinya negara secara primer melalui 4 tahapan
(Fase) yaitu :
a) Fase Persekutuan manusia.
b) Fase Kerajaan.
c) Fase Negara.
d) Fase Negara demokrasi dan Diktatur.
Disamping itu untuk mempelajari asal
mula terjadinya negara yang pertama dapat pula menggunakan pendekatan teoritis
yaitu suatu pendekatan yang didasarkan kerangka pemikiran logis yang
hipotesanya belum dibuktikan secara kenyataan. Atas dasar pendekatan tersebut,
ada beberapa teori tentang asal mula terjadinya Negara.
A. Teori Ketuhanan (Theokratis).
Dasar pemikiran teori ini adalah suatu
kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada atau terjadi di alam semesta ini
adalah semuanya kehendak Tuhan, demikian pula negara terjadi karena kehendak
Tuhan. Sisa–sisa perlambang teori theokratis nampak dalam kalimat yang
tercantum di berbagai Undang–Undang Dasar negara, seperti : “Atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa” atau “By the grace of God”. Penganut teori theokrasi
modern adalah Frederich Julius Stahl (1802–1861). Dalam bukunya yang berjudul
“Die Philosophie des recht”, ia menyatakan bahwa negara secara berangsur–angsur
tumbuh melalui proses evolusi : Keluarga -Bangsa -Negara. Negara bukan tumbuh
disebabkan berkumpulnya kekuatan dari luar, melainkan disebabkan perkembangan
dari dalam. Ia tidak tumbuh disebabkan kekuatan manusia, melainkan disebabkan
kehendak Tuhan. Dalam dunia modern seperti sekarang ini, teori theokratis tidak
dipratekkan lagi, sudah tertinggal jauh.
Beberapa pelopor teori theokratis yang
lain :
a) Santo Agustinus :
Kedudukan greja yang dipimpin Sri Paus
lebih tinggi dari kedudukan Negara yang di pimpin oleh raja ,karena paus
merupakan wakil dari tuhan . Agustinus membagi ada dua macam Negara yaitu :
a. Civitate Dei (Kerajaan Tuhan).
b. Civitate
Diabolis/Terrana (Kerajaan Setan) yang ada di dunia fana.
b) Thomas Aquinas :
Negara merupakan lembaga alamiah yang
lahir karena kebutuhan sosial manusia, sebagai lembaga yang bertujuan menjamin
ketertiban dan kehidupan masyarakat serta penyelenggara kepentingan umum,
negara merupakan penjelmaan yang tidak sempurna. Kedudukan raja dan Sri Paus
sama tinggi, keduanya merupakan wakil Tuhan yang masing-masing mempunyai tugas
berlainan yaitu raja mempunyai tugas dibidang keduniawian yaitu mengusahakan
agar rakyatnya hidup bahagia dan sejahtera di dalam negara, sedangkan Paus
mempunyai tugas dibidang kerokhanian yaitu membimbing rakyatnya agar kelak
dapat hidup bahagia di akhirat.
B. Teori Kekuasaan.
Menurut teori ini negara terbentuk
karena adanya kekuasaan, sedangkan kekuasaan berasal dari mereka-mereka yang
paling kuat dan berkuasa, sehingga dengan demikian negara terjadi karena adanya
orang yang memiliki kekuatan/kekuasaan menaklukkan yang lemah.Gambaran bahwa
negara terbentuk karena kekuasaan dapat disimak dalam berbagai pendapat yang
dikemukan oleh para ahli sebagai berikut :
Ø Kalikles
: Dalam suasanaØ alam bebas bila ada orang–orang
yang lebih baik telah memperoleh kekuasaan yang lebih besar dari yang kurang
baik, maka disitulah keadilan, demikian pula pada negara bahwa yang kuat
memerintah (menguasai) yang lemah.
Voltaire : “Raja yang pertama ialah pahlawan yang menang perang”.
Voltaire : “Raja yang pertama ialah pahlawan yang menang perang”.
Ø Karl Marx : Negara adalah hasil pertarungan
antar kekuatan–kekuatan ekonomis dan negara merupakan alat pemeras bagi mereka
yang lebih kuat terhadap yang lemah dan negara akan lenyap kalau perbedaan
kelas tidak ada lagi.
Harold J. Laski : Setiap pergaulan hidup memerlukan organisasi pemaksa untuk menjamin kelanjutan hubungan produksi yang tetap.
Harold J. Laski : Setiap pergaulan hidup memerlukan organisasi pemaksa untuk menjamin kelanjutan hubungan produksi yang tetap.
Ø Leon
Duguit : Yang dapat memaksakan kehendak kepada pihak lain ialah mereka–mereka
yang paling kuat yang memiliki keistimewaan phisik, otak (kecerdasan), ekonomi
dan agama.
Ø G.
Jellinek : Negara adalah kesatuan yang dilengkapi dengan kekuasaan memerintah
bagi orang-orang yang ada di dalamnya yaitu kemampuan memaksakan kemauan
sendiri terhadap orang-orang lain tanpa tawar menawar.
C. Teori
Perjanjian Masyarakat.
Menurut teori ini, negara terbentuk
karena sekelompok manusia yang semula masing-masing hidup sendiri-sendiri
mengadakan perjanjian untuk membentuk organisasi yang dapat menyelenggarakan
kepentingan bersama.Teori ini didasarkan pada suatu paham kehidupan manusia
dipisahkan dalam dua jaman yaitu pra negara (jaman alamiah) dan
negara.Penganjur teori perjanjian masyarakat antara lain :
a) Hugo de Groot (Grotius) :
Negara merupakan ikatan manusia yang
insaf akan arti dan panggilan kodrat. Negara berasal dari suatu perjanjian yang
disebut “pactum” dengan tujuan untuk mengadakan ketertiban dan menghilangkan
kemelaratan. Grotius merupakan orang yang pertama kali memakai hukum kodrat
yang berasal dari rasio terhadap hal–hal kenegaraan. Dan ia menganggap bahwa
perjanjian masyarakat sebagai suatu kenyataan sejarah yang sungguh–sungguh
pernah terjadi.
b) Thomas Hobbes :
Suasana alam bebas dalam status
naturalis merupakan keadaan penuh kekacauan, kehidupan manusia tak ubahnya
seperti binatang buas di hutan belantara (Homo homini lupus) sehingga menyebabkan
terjadinya perkelahian atau perang semua lawan semua (Bellum omnium contra
omnes atau The war of all aginst all). Keadaan tersebut diakibatkan adanya
pelaksanaan natural rights (yaitu hak dan kekuasaan yang dimiliki setiap
manusia untuk berbuat apa saja untuk mempertahankan kehidupannya) yang tanpa
batas.Dalam keadaan penuh kekacauan, lahirlah natural law dari rasio manusia
untuk mengakhiri pelaksanaan natural rights secara liar dengan jalan mengadakan
perjanjain. Menurut Thomas Hobbes, perjanjian masyarakat hanya ada satu yaitu
“Pactum Subjectionis”, dalam perjanjian ini terjadi penyerahan natural rights
(hak kodrat) kepada suatu badan yang dibentuk (yaitu body politik) yang akan
membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan umum, hak yang sudah diserahkan
kepada penguasa (raja) tidak dapat diminta kembali dan raja harus berkuasa
secara mutlak. Melalui teorinya, Thomas Hobbes menghendaki adanya bentuk
monarkiabsolut.
c) John Locke :
c) John Locke :
Melalui bukunya yang berjudul “Two
treaties on civil Government”, ia menyatakan : suasana alam bebas bukan
merupakan keadaan penuh kekacauan (Chaos) karena sudah ada hukum kodrat yang
bersumber pada rasio manusia yang mengajarkan bahwa setiap orang tidak boleh
merugikan kepentingan orang lain. Untuk menghindari anarkhi maka manusia
mengadakan perjanjian membentuk negara dengan tujuan menjamin suasana hukum
individu secara alam. Perjanjian masyarakat ada 2 yaitu :
Ø Pactum
Unionis : Perjanjian antar individu yang melahirkan Negara.
Ø Pactum
Subjectionis : Perjanjain anatara individu dengan penguasa yang diangkat dalam
pactum unionis, yang isinya penyerahan hak–hak alamiah.
Ø Dalam
pactum sujectionis tidak semua hak–hak alamiah yang dimiliki manusia diserahkan
kepada penguasa (raja) tetapi ada beberapa hak pokok (asasi) yang meliputi hak
hidup, hak kemerdekaan/kebebasan, hak milik yang tetap melekat pada diri
manusia dan hak tersebut tidak dapat diserahkan kepada siapapun termasuk
penguasa. Dan hak–hak tersebut harus dilindungi dan dijamin oleh raja dalam
konstitusi (UUD). Melalui teorinya John Locke menghendaki adanya bentuk
monarkhi konstituisonal,dan ia anggap sebagai peletak dasar teori hak asasi
manusia.
d) Jean Jacques Rousseau
Melalui bukunya yang berjudul “Du
Contract Social”, Jean Jacques Rousseau menyatakan : menurut kodratnya manusia
sejak lahir sama dan merdeka, tetapi agar kepentingannya terjamin maka
tiap–tiap orang dengan sukarela menyerahkan hak dan kekuasaannya itu kepada
organisasi (disebut negara) yang dibentuk bersama–sama dengan orang lain.
Kepada negara tersebut diserahkan kemerdekaan alamiah dan di bawah organisasi
negara, manusia mendapatkan kembali haknya dalam bentuk hak warga negara (civil
rights). Negara yang dibentuk berdasarkan perjanjian masyarakat harus dapat
menjamin kebebasan dan persamaan serta menyelenggarakan ketertiban
masyarakat.Yang berdaulat dalam negara adalah rakyat, sedangkan pemerintah
hanya merupakan wakilnya saja, sehingga apapila pemerintah tidak dapat
melaksanakan urusannya sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat dapat
mengganti pemerintah tersebut dengan pemerintah yang baru karena pemerintah
yang berdaulat dibentuk berdasarkan kehendak rakyat (Volonte general). Melalui
teorinya tersebut, J.J. Rousseau menghendaki bentuk negara yang berkedaulatan
rakyat (negara demokrasi). Itulah sebabnya ia dianggap sebagai Bapak kedaulatan
rakyat (demokrasi).
e) Teori Hukum Alam
Menurut teori ini, terbentuknya negara
dan hukum dengan memandang manusia sebelum ada masyarakat hidup
sendiri–sendiri.Para penganut teori hukum alam terdiri :
·
Masa Purba, seperti
Plato dan Aristoteles.
·
Masa Abad Pertengahan,
seperti Agustinus dan Thomas Aquinas.
·
Masa Rasionalisme,
seperti penganut teori perjanjian masyarakat.
2. Terjadinya Negara Secara Sekunder
2. Terjadinya Negara Secara Sekunder
Terjadinya negara secara sekunder adalah
membahas terjadinya negara baru yang dihubungkan dengan negara lain yang telah
ada sebelumnya, berkaitan dengan hal tersebut maka pengakuan negara lain dalam
teori sekunder merupakan unsur penting berdirinya suatu negara baru.Untuk
mengetahui terjadinya negara baru dapat menggunakan pendekatan faktual yaitu
suatu pendekatan yang didasarkan pada kenyataan dan pengalaman sejarah yang
benar–benar terjadi.Menurut kenyataan sejarah terjadinya suatu Negara karena :
a) Penaklukan/Pendudukan
(Occupasi) : Suatu daerah belum ada yang menguasai kemudian diduduki oleh suatu
bangsa. Contoh:Liberia diduduki budak–budak negro yang dimerdekakan tahun1847.
b) Pelepasan
diri (Proklamasi) : Suatu daerah yang semula termasuk daerah negara tertentu
melepaskan diri dan menyatakan kemerdekaannya. Contoh : Belgia melepaskan diri
dari Belanda tahun 1839, Indonesia tahun 1945, Pakistan tahun 1947 (semula
wilayah Hindustan), Banglades tahun 1971 (semula wilayah Pakistan), Papua
Nugini tahun1975 (semula wilayah Australia), 3 negara Baltik (Latvia, Estonia,
Lituania) melepaskan diri dari Uni Soviet tahun 1991, dsb.
c) Peleburan
menjadi satu (Fusi) : Beberapa negara mengadakan peleburan menjadi satu negara
baru.
Contoh : Kerajaan Jerman (1871), Vietnam
(1975), Jerman (1990), dsb.
d) Aneksasi
: Suatu daerah/negara yang diambil alih (dicaplok) oleh bangsa lain, kemudian
di wilayah itu berdiri negara. Contoh : Israel tahun 1948.
e) Pelenyapan
dan pembentukan negara baru : Suatu negara pecah dan lenyap, kemudian diatas
wilayah itu muncul negara baru.
Contoh :
Contoh :
·
Colombia pecah menjadi
Venezuella dan Colombia Baru tahun 1832.
·
Jerman menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur
tahun 1945.
·
Korea menjadi Korea
Selatan dan Korea Utara tahun 1945.
·
Vietnam menjadi Vietnam
Utara dan Vietnam Selatan tahun 1954.
·
Uni Soviet pecah/lenyap
tahun 1992 kemudian muncul Rusia,
Georgia, Kazakistan dsb.
·
Yugoslavia pecah tahun
1992 kemudian muncul Kroasia, Bosnia, Serbia (Yugoslavia Baru).
·
Cekoslovakia menjadi
Ceko dan Slovakia tahun 1992.
D. NEGARA
DAN AGAMA
Negara
dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discourse) yang
terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Hal ini disebabkan leh perbedaan
pandanagan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari Negara atau Negara
merupakan bagian dari dogma agama. Pada hakekatnya, Negara sendiri secara umum
diartikan sebagai suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat
kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social. oleh karena itu,
sifat dasar kodrat manusia tersebut
merupakan sifat dasar Negara pula sehingga Negara sebagai manifestasi kodrat
manusia secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk
mencapai tujuan bersama. Dengan demikian Negara memiliki sebab akibat langsung
dengan manusia karena manusia adalah pendiri Negara itu sendiri (kaelani,
1999:91-93)
Dalam
memahami hubungan agama dan Negara ini, akan dijelaskan beberapa knsep hubungan
agama dan Negara menurut beberapa aliran, antara lain paham teokrasi, paham
sekuler dan paham komunis.
1.
Hubungan Agama dan
Negara Menurut Paham Teokrasi
Dalam paham teokrasi,
hubungan agama dan Negara digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut paham ini
dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam
masyarakat, bangsa, dan Negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian,
urusan kenegaraan atau politik, dalam pahai juga diyakini sebagai manifestasi
firman Tuhan.
Dalam perkembangannya,
paham tekrasi terbagi kedalam dua bagian, yaki paham teokrasi langsung dan
paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan
diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara di dunia
ini adalah atas kehendak Tuhan, dan leh karena ituyang memerintah adalah Tuhan
pula. Sementara menurut teokrasi tidak langsung yang memerintah bukan Tuhan
sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala Negara yang memiliki
otoritas atas nama Tuhan. Kepala Negara atau raja diyakini memerintah atas
kehendak Tuhan.
Kerajaan Belanda dapat
dijadikan conth untuk model ini. Dalam sejarah, raja di Negara Belanda diyakini
sebagai pengemban tugas suci yaitu kekuasaan yang merupakan amanat suci
(mission sacre) dari Tuhan untuk memakmurkan rakyatnya. Politik seperti inilah
yang diterapkan oleh pemerintah Belanda ketika menjajah Indonesia. Mereka
meyakini bahwa raja mendapat amanat suci dari Tuhan untuk bertindak sebagai
wali dari wilayah jajahannya itu. Dalam sejarah, politik Belanda seperti ini
disebut politik etis (etische politiec).
Dalam pemerintahan
teokrasi tidak langsung, system dan nrma-norma dalam Negara dirumuskan
berdasarkan firman-firman Tuhan. Dengan demikian, Negara menyatu dengan agama.
Agama dan Negara tidak dapat dipisahkan.
2.
Hubungan Negara dan
agama menurut Paham Sekuler
Selain paham teokrasi,
terdapat pula paham sekuler dalam praktik pemerintahan dalam kaitan hubungan
dan Negara. Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan Negara.
Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara system kenegaraan dengan agama.
Dlam paham ini Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau
urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal
ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.
Dalam Negara sekuler,
system dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma
hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman
Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma
agama. Sekalipun paham ini memisahkan antara agama dan Negara, akan tetapi pada
lazimnya Negara sekuler membebaskan warga Negaranya untuk memeluk apa saja yang
mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam urusan agama.
3.
Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Komunisme
Paham komunisme memandang hakikat
hubungan Negara dan agama berdasarkan pada filsofi materialism-dialektis dan
materialisme-historis. Paham ini menimbulkan paham atheis. Paham yang
dipelopori oleh Karl Marx ini, memandang agama sebagai candu masyarakat (Marx,
dalm Louis leahy, 1992:97-98). Menurutnya, manusia ditentukan oleh dirinya
sendiri. Sementara agama, dalam paham ini, dianggap sebagai suatu kesadaran
diribagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri.
Kehidupan manusia
adalah dunia manusia itu sendiri ayng kemudian menghasilkan masyarakat Negara.
Sedangkan agma dipandang sebagai realisasi fantistis makhluk manusia, dan agama
merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu, agama harus ditekan
bahkan dilarang. Nilai ynag tertinggi dalam Negara adalah materi, karena
manusia sendiri pada hakekatnya adalah materi.
E. KONSEP
RELASI AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM
Dalam
islam , hubungan agama dengan Negara menjadi perdebatan yang cukup panjang
diantara para pakar islam hingga kini. Bahkan menurut Azra (Azra, 1996:1),
perdebatan itu telah berlangsung sejak hamper satu abad, dan berlangsung hingga
dewasa ini. Lebih lanjut azra mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang
hubungan agama dan Negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara
islam sebagai agama (din) dan Negara (dawlah). berbagai eksperimen dilakukan
dalam menyelaraskan antara din dengan konsepimen kultur politik masyarakat
muslim, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragan. (azra,
1996:1).
Dalam
lintasan historis islam, hubungan agama dengan Negara dan system politik
menunjukkan fakta yanag sangat beragam. Banyak para ulama tadisional yang
berargumentasi bahwa Islam merupakan system kepercayaan di mana agama memiliki
hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup
bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini maka pada dasarnya
dalam islam tidak ada pemishan antara agama (din) dan politik (dawlah). argumentasi
ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad ketika berada di Madinah yang
membangun system pemerintahan dalam sebuah Negara kota (city-state). Di Madinah
Rasulullah berperan sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala agama.
Menyikapi
realitas empiric tersebut, Ibnu taimiyah mengatakan bahwa posisi nabi saat itu
adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (al Kitab) bukan sebagai
penguasa. Kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk
menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama. Denagn kata lain, politik atau
Negara hanyalah sebagai alat bagi agama bukan suatu ekstensi dari agama. Pendapat
Ibnu Taimiyah ini dipertegas dengan ayat Al-Quran yang artinya: “sesungguhnya
kami telah mengutus Rasul-rasul kami yang disertai keterangan-keterangan, dan
kami turunkan bersama mereka kitab dan timbangan, agar manusia berlaku adil,
dan kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat
bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya ul-Nya yang dan
(menolong) Rasul-Nya yang ghaib (dari padanya) (QS.57:25). Dari ayat ini, Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan
pedang penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan
dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu
bukanlah agama itu sendiri (A. Syafi’i Ma’arif, 1996:14).
Syafi’I
Ma’arif menegaskan bahwa istilah dawlah yang berarti Negara tidak dijumpai
dalam al-Quran. Istilah dawlah memang ada al-Quran , surat QS.59 (al Hasyr)
ayat 7, tetapi bukan bermakna Negara. Istilah tersebut dipakai secara
figurative untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan.
Sama
halnya dengan pendapat yang dikemukakan leh Mohammad Husein Haikal. Menurutnya
prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh al-Quran dan
al-Sunnah tidak yang langsung berkaitan denagn ketatanegaraan. Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa dalam islam tidak terdapat suatu system pemerinatahan yang
baku. Umat Islam bebas menganut system pemerintahan yang bagaimanapun asalkan
system tersebut menjamin persamaan antara para warganegaranya, baik hak maupun
kewajiban dan juga di muka hukum serta pengelolaan urusan Negara
diselenggarakan atas syura atau musayawarah denagn berpegang kepada tata nilai
moral dan etika yang diajarkan Islam(Syadzali, 1993:183-188).
Dalam
lintasan sejarah dan opini para teoritis politik Islam, ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan
dengan konsep hubungan agama dan Negara, antara lain dapat dirangkum kedalam 3
(tiga) paradigma, yakni integralistis, simbiotik dan sekularistik.
1.
Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik
merupakan paham dan konsep hubungan agama dan Negara yang menganggap bahwa
agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya
merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini juga memberikan pengertian
bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama
dan politik atau Negara. Konsep seperti ini merupakan konsep teokrasi.
Paradigma
ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa
kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hokum dan prinsip keagamaan.
Dari sinilah kemudian paradigama integralistik dikenal juga dengan paham islam:
din wa dawlah, yang sumber hokum positifnya adalah hokum agama. Paradigma
integralistik ini antara lain dianut oleh kelmpok Islam syi’ah. Hanya saja
syi’ah tidak menggunakan term dawlah tetapi dengan term imamah.
2.
Paradigma Simbiotik
Menurut konsep ini,
hubungan agama dan Negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbale balik.
Dalam konteks ini, agama membutuhkan Negara sebagai instrumen dalam
melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, Negara juga
memerlukan agama, karena agama juga membantu Negara dalam pembinaan moral,
etika dan spiritualitas.
Dalam konteks paradigma
simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur
kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, Karena tanpa
kekuasaan Negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak (Taimiyah, al siyasah al
Syar’iyyah:162). Pendapat Ibnu taimiyah tersebut meligitimasi bahwa antara
agama dan Negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan.
Oleh karenanya, knstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal
dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hokum agama
(syari’at).
3.
Paradigma Sekularistik
Paradigma sularistik
beranggapan bahwa ada pemisahan (disparitas) antara agama dan Negara. Agama dan
Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya
masing-masing, sehingga keberadaannya harus diipisahkan dan tidak boleh satu
sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini,
maka hokum positif yang berlaku adalah hokum yang betul-betul berasal dari
kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan
hokum agama (syari’ah).
Konsep sekularistik ini
bisa dilihat dari pendapat Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah
kenabian Rasulullah saw pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad saw untuk
mendirikan agama. Rasulullah saw hanya penyampai risalah kepada manusia dan
mendakwahkan ajaran agama kepada manusia.
F. HUBUNGAN
ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA
Masalah
hubungan Islam dan Negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk
dibahas, karena tidak saja Indnesia merupakan Negara yang mayoritas warga
negaranya beragama Islam, tetapi karena kmpleksnya persoalan yang muncul.
Mengkaji hubungan agama dan Negara di Indonesia, secara umum dapat digolongkan kedalam 2 (dua) bagian, yakni hubungan yang
bersifat antagonist dan hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan
antagonistic merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara
Negara dengan Islam sebagai sebuah agama. Sedangkan paham akomodatif, lebih
dipahami sebagai sifat hubungan dimana Negara dan agama satu sma lain saling
mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik (M. Imam Aziz et.al, 1993:105). Abdul
Aziz Thaba menambahkan bahwa setelah hubungan antagonistik, terjadi hubungan
agama dan Negara yang bersifat respirkal-kritis, yakni awal dimulainya
penurunan “tensi” ketegangan antara agama dan Negara.
1.
Hubungan Agama dan
Negara Yang Bersifat Antagonistik
Eksistensi Islam
Politik (political Islam) pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca revolusi
pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan
Negara. Persepsi tersebut, membawa implikasi terhadap keinginan Negara untuk
berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik
Islam. Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja para pemimpin dan
aktivis politik islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideology dan atau
agama Negara (pqdq 1945 dan dekade 1950-an), tetapi mereka juga sering disebut
sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider”. Lebih dari
itu, bahkan politik Islam sering dicurigai sebagai anti ideology Negara
Pancasila(bahtiar efendy, 2001:4).
Lebih lanjut Bahtiar
mengatakan bahwa di Indonesia, kar antagonism hubungan politik anatara islam dn
Negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang
berbeda. Awal hubungan yang antagonistic ini dapat ditelusuri dari masa
pergerakan kebangsaan, ketika elit politik nasinal terlibat dalam perdebatan
tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka. Upaya untuk menciptakan sebuah
sintesis yang memungkinkan antara Islam dan Negara bergulir terus hingga
periode krmerdekaan dan pasca revolusi. Pada saat ini, tema-tema politik Islam lebih bergulir pada tataran ideology dan simbl
sesuatu yang mecapai klimaksnya pada perebatan di kunstituante pada paruh kedua
dasawarsa 1950-an dari pada substansi. Pergulatan ini telah memunculkan mitos
tertentu sejauh yang menyangkut pemikiran dan praktik politik islam.
Kendatipun ada
upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun
1970-an, kecenderungan legalistikm, formalistic dan simbolistik itu masih
berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan
orde baru. Antara lain karena alas an-alasan seperti ini, Negara memberlakukan
kebijakan the politics of containment agar wacana politik Islam yang
formalistic, legalistic dan simbolistik itu tidak berkembang lebih lanjut.
Setelah pemerintahan
orde baru memantrapkan kekuasaannya, terjadi kntrl yang berlebihan yang
diterapkan oleh Orde Baru terhadap kekuatan politik Islam, terutama pada kelmpk
radikal yang dikhawatirkan semakin militan dan menandingi eksistensi Negara.
Realitas empiric inilah
yang kemudian menjelaskan bahwa hubungan agama denagn Negara pada masa ini di
kenal dengan antagonistic, dimana Negara betul-betul mencurigai Islam sebagai
kekuatan yang ptensial dalam menandingi eksistensi Negara. Di sisi lain, umat
Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah yang tinggi untuk mewujudkan Islam
sebagai sumber ideology dalam menjalankan pemerintahan.
2.
Hubungan Agama Dan
Negara yang Bersifat Akomodatif
Gejala menurunnya
ketegangan hubungan antara Islam dan Negara mulai terlihat pada
pertengahan tahun 1980-an . hal ini
ditandai dengan semakin besarnya peluang umat Islam dalam mengembangkan wacana
politiknya serta munculnya kebijakan-kebijakan yang dianggap positif bagi ukat
Islam. Kebijakan-kebijakan tersebut berspektrum luas, ada yang bersifat structural, legislative,
infrastruktural dan cultural (Bahtiar Effendy, 2001:35)
Kecenderungan akmdasi
Negara terhadap Islam juga menurut Affan
Gaffar ditengarai dengan adanya kebijakan ppemerintah dalam bidang pendidikan
dan keagamaan serta kondisi dan kecenderungan politik umat Islam sendiri (M.
Imam Aziz et.el 1993:105). Pemerintah menyadari bahwa umat Islam merupakan
kekuatan politik yang potensial, yang oleh karenanya Negara lebih memilih
akomodasi terhadap Islam, karena jika Negara menempatkan Islam sebagai outsider
Negara, maka konflik akan sulit dihindari yang pada akhirnya akan membawa imbas
terhadap proses pemeliharaan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Thaba,
munculnya sikap akomodatif Negara terhadap Islam lebih disebabkan adanya
kecenderungan bahwa umat Islam Indnesia dinilai telah semakin memahami kebijakan
Negara, terutama dalam konteks keberlakuan dan penerimaan asas tunggal
Pancasila.
1 komentar:
Sumbernya dari mana ya??
Posting Komentar