Home » » MAKALAH KONSEP DASAR NEGARA

MAKALAH KONSEP DASAR NEGARA

Unknown | 20.25 | 1komentar

BAB 1

PENDAHULUAN


A.  LATAR BELAKANG
Reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi causa prima penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya suksesi kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis sosial-politik, bobroknya managemen negara yang mereproduksi KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum akibat telah dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia 1945. Itu terjadi karena fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada penyelenggara negara.
Akibatnya dalam penerapannya kemudian bergantung pada penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959 – 1966) dan orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan UUD yang kesemuanya itu akan berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.


B. RUMUSAN MASALAH
1.   Apa konsep dasar Negara? 
2.   Apa konsep dasar konstitusi?
3.      Bagaimanakah hubungan antara negara dan konstitusi?
4.      Bagaimana keberadaan Pancasila dan konstitusi di Indonesia?









BAB II
PEMBAHASAN
A.      KONSEP DASAR NEGARA
1.      Pengertian Negara
a.      Secara Etimologi (Bahasa)
Istilah Negara merupakan terjemahan dari beberapa bahasa asing: state (inggris), staat (Belanda dan Jerman), atau etat (Prancis).
b.      Secara therminologi
Negara merupakan suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang secara bersama-sama mendiami suatu wilayah (territorial) tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang ada di wilayahnya.Organisasi negara dalam suatu wilayah bukanlah satu-satunya organisasi, ada organisasi-organisasi lain (keagamaan, kepartaian, kemasyarakatan dan organisasi lainnya yang masing-masing memiliki kepribadian yang lepas dari masalah kenegaraan). Secara umum negara dapat diartikan sebagai suatu organisasi utama yang ada di dalam suatu wilayah karena memiliki pemerintahan yang berwenang dan mampu untuk turut campur dalam banyak hal dalam bidang organisasi-organisasi lainnya.
c.       Menurut para ilmuan
1.      George Gelinek
Negara adalah organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang berkediaman dalam wilayah tertentu.
2.      Kranenburg
Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari satu golongan atau bangsa sendiri.
3.      Roger F Soult
Negara adalah alat (agency) atau wewenang atau authority yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
4.      Carl Schmitt
Negara adalah sebagai suatu ikatan dari manusia yang mengorganisasi dirinya dalam wilayah tertentu.
2.      Tujuan Negara
Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang-orang yang mendiaminya, Negara harus mempunyai tujuan yang disepakati bersama. Tujuan sebuah Negara dapat bermacam-macam, antara lain:
a.       Bertujuan untuk memperluas kekuasaan.
b.      Bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum.
c.       Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dalam tradisi Barat, pemikiran tentang terbentuknya suatu Negara memiliki tujuan tertentu sesuai model Negara tersebut. Dalam konsep dan ajaran plato, tujuan adanya Negara adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perorangan (individu) dan sebagai makhluk sosial. Berbeda dengan plato, menurut ajaran dan konsep teokratis Thomas Aquinas dan Agustinus, tujuan Negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan. Pemimpin Negara menjalankan kekuasaanya hanya berdasarkan kekuasaan tuhan yang diberikan kepadanya.
Dalam islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, tujuan Negara adalah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi pihak-pihak asing. Paradigma ini di dasarkan pada konsep sosiohistoris bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT. Dengan watak dan kecenderungan yang berkumpul dan bermasyarakat, yang membawa konsekuensi antara individu-individu satu sama lain saling membutuhkan bantuan. Sedangkan, menurut ibnu Khaldun, tujuan Negara adalah untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat.
Dalam konteks Negara Indonesia, tujuan Negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dau ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam pembukaan dan penjelasan UUD 1945. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan suaatu Negara yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk suatu masyarakat adil dan makmur.
Ada beberapa teori tentang tujuan Negara:
1.      Teori Kekuasaan
ShangØ Yang, yang hidup di negeri China sekitar abad V-IV SM menyatakan bahwa tujuan negara adalah pembentukan kekuasaan negara yang sebesar-besarnya. Menurut dia, perbedaan tajam antara negara dengan rakyat akan membentuk kekuasaan negara. “A weak people means a strong state and a strong state means a weak people. Therefore a country, which has the right way, is concerned with weakening the people.” Sepintas ajaran Shang Yang sangat kontradiktif karena menganggap upacara, musik, nyanyian, sejarah, kebajikan, kesusilaan, penghormatan kepada orangtua, persaudaraan, kesetiaan, ilmu (kebudayaan, ten evils) sebagai penghambat pembentukan kekuatan negara untuk dapat mengatasi kekacauan (yang sedang melanda China saat itu). Kebudayaan rakyat harus dikorbankan untuk kepentingan kebesaran dan kekuasaan negara.
Niccolo Machiavelli, dalam bukunyaØ Il Principe menganjurkan agar raja tidak menghiraukan kesusilaan maupun agama. Untuk meraih, mempertahankan dan meningkatkan kekuasaannya, raja harus licik, tak perlu menepati janji, dan berusaha selalu ditakuti rakyat. Di sebalik kesamaan teorinya dengan ajaran Shang Yang, Machiavelli menegaskan bahwa penggunaan kekuasaan yang sebesar-besarnya itu bertujuan luhur, yakni kebebasan, kehormatan dan kesejahteraan seluruh bangsa.
2.      Teori Perdamaian Dunia
Dalam bukunya yang berjudul De Monarchia Libri III, Dante Alleghiere (1265-1321) menyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk mewujudkan perdamaian dunia. Perdamaian dunia akan terwujud apabila semua negara merdeka meleburkan diri dalam satu imperium di bawah kepemimpinan seorang penguasa tertinggi. Namun Dante menolak kekuasaan Paus dalam urusan duniawi. Di bawah seorang mahakuat dan bijaksana, pembuat undang-undang yang seragam bagi seluruh dunia, keadilan dan perdamaian akan terwujud di seluruh dunia.
3.      Teori Jaminan atas Hak dan Kebebasan Manusia
Immanuel Kant (1724-1804) adalah penganut teori Perjanjian Masyarakat karena menurutnya setiap orang adalah merdeka dan sederajat sejak lahir. Maka Kant menyatakan bahwa tujuan negara adalah melindungi dan menjamin ketertiban hukum agar hak dan kemerdekaan warga negara terbina dan terpelihara. Untuk itu diperlukan undang-undang yang merupakan penjelmaan kehendak umum (volonte general), dan karenanya harus ditaati oleh siapa pun, rakyat maupun pemerintah. Agar tujuan negara tersebut dapat terpelihara, Kant menyetujui azas pemisahan kekuasaan menjadi tiga potestas (kekuasaan): legislatoria, rectoria, iudiciaria (pembuat, pelaksana, dan pengawas hukum). Teori Kant tentang negara hukum disebut teori negara hukum murni atau negara hukum dalam arti sempit karena peranan negara hanya sebagai penjaga ketertiban hukum dan pelindung hak dan kebebasan warga negara, tak lebih dari nightwatcher, penjaga malam). Negara tidak turut campur dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Pendapat Kant ini sangat sesuai dengan zamannya, yaitu tatkala terjadi pemujaan terhadap liberalisme (dengan semboyannya: laissez faire, laissez aller). Namun teori Kant mulai ditinggalkan karena persaingan bebas ternyata makin melebarkan jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin. Para ahli berusaha menyempurnakan teorinya dengan teori negara hukum dalam arti luas atau negara kesejahteraan (Welfare State). Menurut teori ini, selain bertujuan melindungi hak dan kebebasan warganya, negara juga berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara.
Kranenburg termasuk penganut teori negara kesejahteraan. Menurut dia, tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya. Kesejahteran pun meliputi berbagai bidang yang luas cakupannya, sehingga selayaknya tujuan negara itu disebut secara plural: tujuan-tujuan negara. Ia juga menyatakan bahwa upaya pencapaian tujuan-tujuan negara itu dilandasi oleh keadilan secara merata, seimbang.
Selain beberapa teori tersebut, ada pula ajaran tentang tujuan negara sebagai berikut:
-       Ajaran Plato: Negara bertujuan memajukan kesusilaan manusia sebagai individu dan makhluk sosial.
-       Ajaran Teokratis (Kedaulatan Tuhan): Negara bertujuan mencapai kehidupan yang aman dan ternteram dengan taat kepada Tuhan. Penyelenggaraan negara oleh pemimpin semata-mata berdasarkan kekuasaan Tuhan yang dipercayakan kepadanya.
(Tokoh utamanya: Augustinus, Thomas Aquino).
- Ajaran Negara Polisi: Negara bertujuan mengatur kemanan dan ketertiban masyarakat (Immanuel Kant).
-    Ajaran Negara Hukum: Negara bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum dan berpedoman pada hukum (Krabbe). Dalam negara hukum, segala kekuasaan alat-alat pemerintahannya didasarkan pada hukum. Semua orang – tanpa kecuali harus tunduk dan taat kepada hukum (Government not by man, but by law = the rule of law). Rakyat tidak boleh bertindak semau gue dan menentang hukum. Di dalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh negara, sebaliknya rakyat berkewajiban mematuhi seluruh peraturan pemerintah/ negaranya.
 Negara Kesejahteraan (Welfare
Ø State = Social Service State): Negara bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum. Negara adalah alat yang dibentuk rakyatnya untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kemakmuran dan keadilan sosial.

3.      Unsur-unsur Negara
Suatu Negara harus memiliki tiga unsur penting yaitu: rakyat atau masyarakat, wilayah, dan pemerintah. Ketiga unsure  ini oleh Mahfud M.D disebut sebagai unsur konstitutif. Tiga unsur ini harus ditunjang dengan unsure lainnya seperti adanya konstitusi dan pangakuan dari dunia internasional yang di sebut dengan unsur deklaratif.
1.      Masyarakat
Masyarakat merupakan unsur terpenting dalam tatanan suatu negara. Masyarakat atau rakyat merupakan suatu individu yang berkepentingan dalam suksesna suatu tatanan dalam pemerintahan. Pentingnya unsur rakyat dalam suatu negara tidak hanya diperlukan dalam ilmu kenegaraan (staatsleer) tetapi perlu juga perlu melahirkan apa yang disebut ilmu kemasyarakatan (sosiologi) suatu ilmu pengetahuan baru yang khusus menyelidiki, mempelajari hidup kemasyarakatan. Sosiologi merupakan ilmu penolong bagi ilmu hukum tata negara.

2.      Wilayah (teritorial)
Suatu negara tidak dapat berdiri tanpa adanya suatu wilayah. Disamping pentingnya unsur wilayah dengan batas-batas yang jelas, penting pula keadaan khusus wilayah yang bersangkutan, artinya apakah layak suatu wilayah itu masuk suatu negara tertentu atau sebaliknya dipecah menjadi wilayah berbagai negara. Apabila mengeluarkan peraturan perundang-undangan pada prinsipnya hanya berlaku bagi orang-orang yang berada di wilayahnya sendiri. Orang akan segera sadar berada dalam suatu negara tertentu apabila melampaui batas-batas wilayahnya setelah berhadapan dengan aparat (imigrasi negara) untuk memenuhi berbagai kewajiban yang ditentukan.
Paul Renan (Perancis) menyatakan satu-satunya ukuran bagi suatu masyarakat untuk menjadi suatu negara ialah keinginan bersatu (le desir de’etre ansemble). Pada sisi lain Otto Bauer menyatakan, ukuran itu lebih diletakkan pada keadaan khusus dari wilayah suatu negara.
3.         Pemerintahan
Ciri khusus dari pemerintahan dalam negara adalah pemerintahan memiliki kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan penduduk suatu negara dan berada dalam wilayah negara.
Ada empat macam teori mengenai suatu kedaulatan, yaitu teori kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat.
B.       BENTUK-BENTUK NEGARA
Negara memiliki bentuk yang berbeda-beda. Secara umum, dalam konsep dan teori modern, Negara terbagi dalam dua bentuk: Negara kesatuan (unitarianisme) dan Negara serikat (Federsi).
1.    Neraga Kesatuan
Negara kesatuan adalah bentuk Negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam pelaksanaanya, Negara kesatuan ini terbagi kedalam dua macam system pemerintahan: sentral dan otonomi.
a.    Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah system pemerintahan yang langsung dipimpin oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah di bawahnya melaksanakan kebijakan pemerintah pusat. Model pemerintahan orde baru di bawah pemerintah presiden Soeharto adalah salah satu contoh system pemerintahan model ini.
b.    Negara kesatuan dengan system desentralisasi adalah kepala daerah diberikan kesempatan dan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan di wilayahnya sendiri. System ini dikenal dengan istilah otonomi daerah atau swatantra. System pemerintahan Negara Malaysia dan pemerintahan pasca orde baru di Indonesia dengan system otonomi khusus dapat dimasukkan ke dalam model ini.

2.    Negara Serikat
Negara serikat atau federasi merupakan bentuk Negara gabungan yang terdiri dari beberapa Negara bagian dan sebuah Negara serikat. Pada mulanya Negara-negara bagian tersebut merupakan Negara merdeka, berdaulat, dan berdiri sendiri. Setelah menggabungkan diri dengan Negara serikat, dengan sendirinya Negara tersebut melepaskan sebagian dari kekuasaanya dan menyerahkannya kepada Negara serikat.
Disamping dua bentuk ini, dari sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, bentuk Negara dapat digolongkan kedalam tiga kelompok: Monarki, Oligarki, dan Demokrasi.

a.         Monarki
Pemerintahan monarki adalah mdel pemerintahan yang dikepalai leh raja atau ratu. Dalam praktiknya, monarki memiliki dua jenis: monarki absolute dan monarki konstitusional. Monarki absolute adalah model pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu orang Raja atau ratu. Yang termasuk dalam kategori ini adalah arab Saudi. Sedangkan, Monarki konstitusional adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan kepala pemerintahannya (perdana mentri) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi Negara. Praktik konstitusi konstitusional ini adalah yang paling banyak dipraktikkan di beberapa Negara, seperti Malaysia, Thailand, Jepang, dan Inggris. Dalam model knstitusional ini, kedudukan raja hanya sebatas symbol Negara.
b.      Oligarki
Model pemerintahan oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dalam golongan atau kelompok tertentu.
c.    Demokrasi
Pemerintahan model demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan rakyat atau mendasarkan kekuasaanya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu).
C.       TEORI TENTANG TERBENTUKNYA NEGARA
1.      Teori Negara
Istilah negara sudah dikenal sejak zaman Renaissance, yaitu pada abad ke-15. Pada masa itu telah mulai digunakan istilah Lo Stato yang berasal dari bahasa Italia, yang kemudian menjelma menjadi L'etat' dalam bahasa Perancis, The State dalam bahasa Inggris atau Deer Staat dalam bahasa Jerman dan De Staat dalam bahasa Belanda.
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian negara seperti dikemukakan oleh Aristoteles, Agustinus, Machiavelli dan Rousseau Sifat khusus daripada suatu Negara ada tiga yaitu sebagai berikut:
a.  Memaksa
Sifat memaksa perlu dimiliki oleh suatu negara, supaya peraturan perundang-undangan ditaati sehingga penertiban dalam masyarakat dapat dicapai, serta timbulnya anarkhi bisa dicegah. Sarana yang digunakan untuk itu adalah polisi, tentara. Unsur paksa ini dapat dilihat pada ketentuan tentang pajak, di mana setiap warga negara harus membayar pajak dan bagi yang melanggarnya atau tidak melakukan kewajiban tersebut dapat dikenakan denda atau disita miliknya.
b.      Monopoli
Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Negara berhak melarang suatu aliran kepercayaan atau aliran politik tertentu hidup dan disebarluaskan karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat.
c.       Mencakup semua
Semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa, kecuali untuk mendukung usaha negara dalam mencapai masyarakat yang dicita-citakan. Misalnya, keharusan membayar pajak.
Asal mula terjadinya negara dilihat berdasarkan pendekatan teoretis ada beberapa macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Teori Ketuhanan
Menurut teori ini negara terbentuk atas kehendak Tuhan.

2. Teori Perjanjian
Teori ini berpendapat, bahwa negara terbentuk karena antara sekelompok manusia yang tadinya masing-masing hidup sendiri-sendiri, diadakan suatu perjanjian untuk mengadakan suatu organisasi yang dapat menyelenggarakan kehidupan bersama.

3. Teori Kekuasaan
Kekuasaan adalah ciptaan mereka-mereka yang paling kuat dan berkuasa

4. Teori Kedaulatan
Setelah asal usul negara itu jelas maka orang-orang tertentu didaulat menjadi penguasa (pemerintah). Teori kedaulatan ini meliputi:

a. Teori Kedaulatan Tuhan
Menurut teori ini kekuasaan tertinggi dalam negara itu adalah berasal dari Tuhan.

b. Teori Kedaulatan Hukum
Menurut teori ini bahwa hukum adalah pernyataan penilaian yang terbit dari kesadaran hukum manusia dan bahwa hukum merupakan sumber kedaulatan.

c. Teori Kedaulatan Rakyat
Teori ini berpendapat bahwa rakyatlah yang berdaulat dan mewakili kekuasaannya kepada suatu badan, yaitu pemerintah.

d. Teori Kedaulatan Negara
Teori ini berpendapat bahwa negara merupakan sumber kedaulatan dalam negara. Kemudian, teori asal mula terjadinya negara, juga dapat dilihat berdasarkan proses pertumbuhannya yang dibedakan menjadi dua, yaitu terjadinya negara secara primer dan teori terjadinya negara secara sekunder.
1.       Terjadinya negara secara Primer :
Terjadinya negara secara primer adalah bertahap yait dimulai dari adanya masyarakat hukum yang paling sederhana,kemudian berevolusi ketingkat yang lebih maju dan tidak dihubungkan dengan Negara yang telah ada sebelumnya.Dengan demikian terjadinya negara secara primer adalah membahas asal mula terjadinya Negara yang pertama di dunia.Menurut G. Jellinek, terjadinya negara secara primer melalui 4 tahapan (Fase) yaitu :
a) Fase Persekutuan manusia.
b) Fase Kerajaan.
c) Fase Negara.
d) Fase Negara demokrasi dan Diktatur.

Disamping itu untuk mempelajari asal mula terjadinya negara yang pertama dapat pula menggunakan pendekatan teoritis yaitu suatu pendekatan yang didasarkan kerangka pemikiran logis yang hipotesanya belum dibuktikan secara kenyataan. Atas dasar pendekatan tersebut, ada beberapa teori tentang asal mula terjadinya Negara.

A. Teori Ketuhanan (Theokratis).
Dasar pemikiran teori ini adalah suatu kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada atau terjadi di alam semesta ini adalah semuanya kehendak Tuhan, demikian pula negara terjadi karena kehendak Tuhan. Sisa–sisa perlambang teori theokratis nampak dalam kalimat yang tercantum di berbagai Undang–Undang Dasar negara, seperti : “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” atau “By the grace of God”. Penganut teori theokrasi modern adalah Frederich Julius Stahl (1802–1861). Dalam bukunya yang berjudul “Die Philosophie des recht”, ia menyatakan bahwa negara secara berangsur–angsur tumbuh melalui proses evolusi : Keluarga -Bangsa -Negara. Negara bukan tumbuh disebabkan berkumpulnya kekuatan dari luar, melainkan disebabkan perkembangan dari dalam. Ia tidak tumbuh disebabkan kekuatan manusia, melainkan disebabkan kehendak Tuhan. Dalam dunia modern seperti sekarang ini, teori theokratis tidak dipratekkan lagi, sudah tertinggal jauh.
Beberapa pelopor teori theokratis yang lain :

a) Santo Agustinus :
Kedudukan greja yang dipimpin Sri Paus lebih tinggi dari kedudukan Negara yang di pimpin oleh raja ,karena paus merupakan wakil dari tuhan . Agustinus membagi ada dua macam Negara yaitu :
a. Civitate Dei (Kerajaan Tuhan).
b. Civitate Diabolis/Terrana (Kerajaan Setan) yang ada di dunia fana.
b) Thomas Aquinas :
Negara merupakan lembaga alamiah yang lahir karena kebutuhan sosial manusia, sebagai lembaga yang bertujuan menjamin ketertiban dan kehidupan masyarakat serta penyelenggara kepentingan umum, negara merupakan penjelmaan yang tidak sempurna. Kedudukan raja dan Sri Paus sama tinggi, keduanya merupakan wakil Tuhan yang masing-masing mempunyai tugas berlainan yaitu raja mempunyai tugas dibidang keduniawian yaitu mengusahakan agar rakyatnya hidup bahagia dan sejahtera di dalam negara, sedangkan Paus mempunyai tugas dibidang kerokhanian yaitu membimbing rakyatnya agar kelak dapat hidup bahagia di akhirat.

B. Teori Kekuasaan.
Menurut teori ini negara terbentuk karena adanya kekuasaan, sedangkan kekuasaan berasal dari mereka-mereka yang paling kuat dan berkuasa, sehingga dengan demikian negara terjadi karena adanya orang yang memiliki kekuatan/kekuasaan menaklukkan yang lemah.Gambaran bahwa negara terbentuk karena kekuasaan dapat disimak dalam berbagai pendapat yang dikemukan oleh para ahli sebagai berikut :
Ø  Kalikles : Dalam suasanaØ alam bebas bila ada orang–orang yang lebih baik telah memperoleh kekuasaan yang lebih besar dari yang kurang baik, maka disitulah keadilan, demikian pula pada negara bahwa yang kuat memerintah (menguasai) yang lemah.
 Voltaire : “Raja yang pertama ialah pahlawan yang menang perang”.
Ø   Karl Marx : Negara adalah hasil pertarungan antar kekuatan–kekuatan ekonomis dan negara merupakan alat pemeras bagi mereka yang lebih kuat terhadap yang lemah dan negara akan lenyap kalau perbedaan kelas tidak ada lagi.
 Harold J. Laski : Setiap pergaulan hidup memerlukan organisasi pemaksa untuk menjamin kelanjutan hubungan produksi yang tetap.
Ø  Leon Duguit : Yang dapat memaksakan kehendak kepada pihak lain ialah mereka–mereka yang paling kuat yang memiliki keistimewaan phisik, otak (kecerdasan), ekonomi dan agama.
Ø G. Jellinek : Negara adalah kesatuan yang dilengkapi dengan kekuasaan memerintah bagi orang-orang yang ada di dalamnya yaitu kemampuan memaksakan kemauan sendiri terhadap orang-orang lain tanpa tawar menawar.

C.  Teori Perjanjian Masyarakat.
Menurut teori ini, negara terbentuk karena sekelompok manusia yang semula masing-masing hidup sendiri-sendiri mengadakan perjanjian untuk membentuk organisasi yang dapat menyelenggarakan kepentingan bersama.Teori ini didasarkan pada suatu paham kehidupan manusia dipisahkan dalam dua jaman yaitu pra negara (jaman alamiah) dan negara.Penganjur teori perjanjian masyarakat antara lain :
a) Hugo de Groot (Grotius) :
Negara merupakan ikatan manusia yang insaf akan arti dan panggilan kodrat. Negara berasal dari suatu perjanjian yang disebut “pactum” dengan tujuan untuk mengadakan ketertiban dan menghilangkan kemelaratan. Grotius merupakan orang yang pertama kali memakai hukum kodrat yang berasal dari rasio terhadap hal–hal kenegaraan. Dan ia menganggap bahwa perjanjian masyarakat sebagai suatu kenyataan sejarah yang sungguh–sungguh pernah terjadi.

b) Thomas Hobbes :
Suasana alam bebas dalam status naturalis merupakan keadaan penuh kekacauan, kehidupan manusia tak ubahnya seperti binatang buas di hutan belantara (Homo homini lupus) sehingga menyebabkan terjadinya perkelahian atau perang semua lawan semua (Bellum omnium contra omnes atau The war of all aginst all). Keadaan tersebut diakibatkan adanya pelaksanaan natural rights (yaitu hak dan kekuasaan yang dimiliki setiap manusia untuk berbuat apa saja untuk mempertahankan kehidupannya) yang tanpa batas.Dalam keadaan penuh kekacauan, lahirlah natural law dari rasio manusia untuk mengakhiri pelaksanaan natural rights secara liar dengan jalan mengadakan perjanjain. Menurut Thomas Hobbes, perjanjian masyarakat hanya ada satu yaitu “Pactum Subjectionis”, dalam perjanjian ini terjadi penyerahan natural rights (hak kodrat) kepada suatu badan yang dibentuk (yaitu body politik) yang akan membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan umum, hak yang sudah diserahkan kepada penguasa (raja) tidak dapat diminta kembali dan raja harus berkuasa secara mutlak. Melalui teorinya, Thomas Hobbes menghendaki adanya bentuk monarkiabsolut.

c) John Locke :
Melalui bukunya yang berjudul “Two treaties on civil Government”, ia menyatakan : suasana alam bebas bukan merupakan keadaan penuh kekacauan (Chaos) karena sudah ada hukum kodrat yang bersumber pada rasio manusia yang mengajarkan bahwa setiap orang tidak boleh merugikan kepentingan orang lain. Untuk menghindari anarkhi maka manusia mengadakan perjanjian membentuk negara dengan tujuan menjamin suasana hukum individu secara alam. Perjanjian masyarakat ada 2 yaitu :
Ø Pactum Unionis : Perjanjian antar individu yang melahirkan Negara.
Ø Pactum Subjectionis : Perjanjain anatara individu dengan penguasa yang diangkat dalam pactum unionis, yang isinya penyerahan hak–hak alamiah.
Ø Dalam pactum sujectionis tidak semua hak–hak alamiah yang dimiliki manusia diserahkan kepada penguasa (raja) tetapi ada beberapa hak pokok (asasi) yang meliputi hak hidup, hak kemerdekaan/kebebasan, hak milik yang tetap melekat pada diri manusia dan hak tersebut tidak dapat diserahkan kepada siapapun termasuk penguasa. Dan hak–hak tersebut harus dilindungi dan dijamin oleh raja dalam konstitusi (UUD). Melalui teorinya John Locke menghendaki adanya bentuk monarkhi konstituisonal,dan ia anggap sebagai peletak dasar teori hak asasi manusia.
d) Jean Jacques Rousseau
Melalui bukunya yang berjudul “Du Contract Social”, Jean Jacques Rousseau menyatakan : menurut kodratnya manusia sejak lahir sama dan merdeka, tetapi agar kepentingannya terjamin maka tiap–tiap orang dengan sukarela menyerahkan hak dan kekuasaannya itu kepada organisasi (disebut negara) yang dibentuk bersama–sama dengan orang lain. Kepada negara tersebut diserahkan kemerdekaan alamiah dan di bawah organisasi negara, manusia mendapatkan kembali haknya dalam bentuk hak warga negara (civil rights). Negara yang dibentuk berdasarkan perjanjian masyarakat harus dapat menjamin kebebasan dan persamaan serta menyelenggarakan ketertiban masyarakat.Yang berdaulat dalam negara adalah rakyat, sedangkan pemerintah hanya merupakan wakilnya saja, sehingga apapila pemerintah tidak dapat melaksanakan urusannya sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat dapat mengganti pemerintah tersebut dengan pemerintah yang baru karena pemerintah yang berdaulat dibentuk berdasarkan kehendak rakyat (Volonte general). Melalui teorinya tersebut, J.J. Rousseau menghendaki bentuk negara yang berkedaulatan rakyat (negara demokrasi). Itulah sebabnya ia dianggap sebagai Bapak kedaulatan rakyat (demokrasi).

e) Teori Hukum Alam
Menurut teori ini, terbentuknya negara dan hukum dengan memandang manusia sebelum ada masyarakat hidup sendiri–sendiri.Para penganut teori hukum alam terdiri :
·      Masa Purba, seperti Plato dan Aristoteles.
·      Masa Abad Pertengahan, seperti Agustinus dan Thomas Aquinas.
·   Masa Rasionalisme, seperti penganut teori perjanjian masyarakat.

2. Terjadinya Negara Secara Sekunder
Terjadinya negara secara sekunder adalah membahas terjadinya negara baru yang dihubungkan dengan negara lain yang telah ada sebelumnya, berkaitan dengan hal tersebut maka pengakuan negara lain dalam teori sekunder merupakan unsur penting berdirinya suatu negara baru.Untuk mengetahui terjadinya negara baru dapat menggunakan pendekatan faktual yaitu suatu pendekatan yang didasarkan pada kenyataan dan pengalaman sejarah yang benar–benar terjadi.Menurut kenyataan sejarah terjadinya suatu Negara karena :
a)      Penaklukan/Pendudukan (Occupasi) : Suatu daerah belum ada yang menguasai kemudian diduduki oleh suatu bangsa. Contoh:Liberia diduduki budak–budak negro yang dimerdekakan tahun1847.
b)      Pelepasan diri (Proklamasi) : Suatu daerah yang semula termasuk daerah negara tertentu melepaskan diri dan menyatakan kemerdekaannya. Contoh : Belgia melepaskan diri dari Belanda tahun 1839, Indonesia tahun 1945, Pakistan tahun 1947 (semula wilayah Hindustan), Banglades tahun 1971 (semula wilayah Pakistan), Papua Nugini tahun1975 (semula wilayah Australia), 3 negara Baltik (Latvia, Estonia, Lituania) melepaskan diri dari Uni Soviet tahun 1991, dsb.
c)      Peleburan menjadi satu (Fusi) : Beberapa negara mengadakan peleburan menjadi satu negara baru.
Contoh : Kerajaan Jerman (1871), Vietnam (1975), Jerman (1990), dsb.
d)     Aneksasi : Suatu daerah/negara yang diambil alih (dicaplok) oleh bangsa lain, kemudian di wilayah itu berdiri negara. Contoh : Israel tahun 1948.
e)      Pelenyapan dan pembentukan negara baru : Suatu negara pecah dan lenyap, kemudian diatas wilayah itu muncul negara baru.
Contoh :
·      Colombia pecah menjadi Venezuella dan Colombia Baru tahun 1832.
·       Jerman menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur tahun 1945.
·      Korea menjadi Korea Selatan dan Korea Utara tahun 1945.
·      Vietnam menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan tahun 1954.
·      Uni Soviet pecah/lenyap tahun 1992 kemudian muncul Rusia,
Georgia, Kazakistan dsb.
·      Yugoslavia pecah tahun 1992 kemudian muncul Kroasia, Bosnia, Serbia (Yugoslavia Baru).
·      Cekoslovakia menjadi Ceko dan Slovakia tahun 1992.


D.      NEGARA DAN AGAMA
     Negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discourse) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Hal ini disebabkan leh perbedaan pandanagan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari Negara atau Negara merupakan bagian dari dogma agama. Pada hakekatnya, Negara sendiri secara umum diartikan sebagai suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social. oleh karena itu, sifat  dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar Negara pula sehingga Negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian Negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah pendiri Negara itu sendiri (kaelani, 1999:91-93)
     Dalam memahami hubungan agama dan Negara ini, akan dijelaskan beberapa knsep hubungan agama dan Negara menurut beberapa aliran, antara lain paham teokrasi, paham sekuler dan paham komunis.
1.                            Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Teokrasi
Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan Negara digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan Negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam pahai juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan.
Dalam perkembangannya, paham tekrasi terbagi kedalam dua bagian, yaki paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan leh karena ituyang memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut teokrasi tidak langsung yang memerintah bukan Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala Negara yang memiliki otoritas atas nama Tuhan. Kepala Negara atau raja diyakini memerintah atas kehendak Tuhan.
Kerajaan Belanda dapat dijadikan conth untuk model ini. Dalam sejarah, raja di Negara Belanda diyakini sebagai pengemban tugas suci yaitu kekuasaan yang merupakan amanat suci (mission sacre) dari Tuhan untuk memakmurkan rakyatnya. Politik seperti inilah yang diterapkan oleh pemerintah Belanda ketika menjajah Indonesia. Mereka meyakini bahwa raja mendapat amanat suci dari Tuhan untuk bertindak sebagai wali dari wilayah jajahannya itu. Dalam sejarah, politik Belanda seperti ini disebut politik etis (etische politiec).
Dalam pemerintahan teokrasi tidak langsung, system dan nrma-norma dalam Negara dirumuskan berdasarkan firman-firman Tuhan. Dengan demikian, Negara menyatu dengan agama. Agama dan Negara tidak dapat dipisahkan.
2.        Hubungan Negara dan agama menurut Paham Sekuler
Selain paham teokrasi, terdapat pula paham sekuler dalam praktik pemerintahan dalam kaitan hubungan dan Negara. Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan Negara. Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara system kenegaraan dengan agama. Dlam paham ini Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.
Dalam Negara sekuler, system dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Sekalipun paham ini memisahkan antara agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warga Negaranya untuk memeluk apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam urusan agama.
3.                                Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Komunisme
Paham komunisme memandang hakikat hubungan Negara dan agama berdasarkan pada filsofi materialism-dialektis dan materialisme-historis. Paham ini menimbulkan paham atheis. Paham yang dipelopori oleh Karl Marx ini, memandang agama sebagai candu masyarakat (Marx, dalm Louis leahy, 1992:97-98). Menurutnya, manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Sementara agama, dalam paham ini, dianggap sebagai suatu kesadaran diribagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri.
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri ayng kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan agma dipandang sebagai realisasi fantistis makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu, agama harus ditekan bahkan dilarang. Nilai ynag tertinggi dalam Negara adalah materi, karena manusia sendiri pada hakekatnya adalah materi.

E.   KONSEP RELASI AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM
       Dalam islam , hubungan agama dengan Negara menjadi perdebatan yang cukup panjang diantara para pakar islam hingga kini. Bahkan menurut Azra (Azra, 1996:1), perdebatan itu telah berlangsung sejak hamper satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. Lebih lanjut azra mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara islam sebagai agama (din) dan Negara (dawlah). berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara din dengan konsepimen kultur politik masyarakat muslim, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragan. (azra, 1996:1).
       Dalam lintasan historis islam, hubungan agama dengan Negara dan system politik menunjukkan fakta yanag sangat beragam. Banyak para ulama tadisional yang berargumentasi bahwa Islam merupakan system kepercayaan di mana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini maka pada dasarnya dalam islam tidak ada pemishan antara agama (din) dan politik (dawlah). argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad ketika berada di Madinah yang membangun system pemerintahan dalam sebuah Negara kota (city-state). Di Madinah Rasulullah berperan sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala agama.
       Menyikapi realitas empiric tersebut, Ibnu taimiyah mengatakan bahwa posisi nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (al Kitab) bukan sebagai penguasa. Kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama. Denagn kata lain, politik atau Negara hanyalah sebagai alat bagi agama bukan suatu ekstensi dari agama. Pendapat Ibnu Taimiyah ini dipertegas dengan ayat Al-Quran yang artinya: “sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul kami yang disertai keterangan-keterangan, dan kami turunkan bersama mereka kitab dan timbangan, agar manusia berlaku adil, dan kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya ul-Nya yang dan (menolong) Rasul-Nya yang ghaib (dari padanya) (QS.57:25). Dari ayat ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan pedang penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri (A. Syafi’i Ma’arif, 1996:14).
       Syafi’I Ma’arif menegaskan bahwa istilah dawlah yang berarti Negara tidak dijumpai dalam al-Quran. Istilah dawlah memang ada al-Quran , surat QS.59 (al Hasyr) ayat 7, tetapi bukan bermakna Negara. Istilah tersebut dipakai secara figurative untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan.
       Sama halnya dengan pendapat yang dikemukakan leh Mohammad Husein Haikal. Menurutnya prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh al-Quran dan al-Sunnah tidak yang langsung berkaitan denagn ketatanegaraan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam islam tidak terdapat suatu system pemerinatahan yang baku. Umat Islam bebas menganut system pemerintahan yang bagaimanapun asalkan system tersebut menjamin persamaan antara para warganegaranya, baik hak maupun kewajiban dan juga di muka hukum serta pengelolaan urusan Negara diselenggarakan atas syura atau musayawarah denagn berpegang kepada tata nilai moral dan etika yang diajarkan Islam(Syadzali, 1993:183-188).
       Dalam lintasan sejarah dan opini para teoritis politik Islam,  ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan Negara, antara lain dapat dirangkum kedalam 3 (tiga) paradigma, yakni integralistis, simbiotik dan sekularistik.
1.         Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan agama dan Negara yang menganggap bahwa agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau Negara. Konsep seperti ini merupakan konsep teokrasi.
            Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hokum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigama integralistik dikenal juga dengan paham islam: din wa dawlah, yang sumber hokum positifnya adalah hokum agama. Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh kelmpok Islam syi’ah. Hanya saja syi’ah tidak menggunakan term dawlah tetapi dengan term imamah.
2.         Paradigma Simbiotik
Menurut konsep ini, hubungan agama dan Negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbale balik. Dalam konteks ini, agama membutuhkan Negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, Negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu Negara dalam pembinaan moral, etika dan spiritualitas.
Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, Karena tanpa kekuasaan Negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak (Taimiyah, al siyasah al Syar’iyyah:162). Pendapat Ibnu taimiyah tersebut meligitimasi bahwa antara agama dan Negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, knstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hokum agama (syari’at).
3.         Paradigma Sekularistik
Paradigma sularistik beranggapan bahwa ada pemisahan (disparitas) antara agama dan Negara. Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus diipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hokum positif yang berlaku adalah hokum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hokum agama (syari’ah).
Konsep sekularistik ini bisa dilihat dari pendapat Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah saw pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad saw untuk mendirikan agama. Rasulullah saw hanya penyampai risalah kepada manusia dan mendakwahkan ajaran agama kepada manusia.

F.   HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA
       Masalah hubungan Islam dan Negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, karena tidak saja Indnesia merupakan Negara yang mayoritas warga negaranya beragama Islam, tetapi karena kmpleksnya persoalan yang muncul. Mengkaji hubungan agama dan Negara di Indonesia, secara umum dapat digolongkan  kedalam 2 (dua) bagian, yakni hubungan yang bersifat antagonist dan hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan antagonistic merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara Negara dengan Islam sebagai sebuah agama. Sedangkan paham akomodatif, lebih dipahami sebagai sifat hubungan dimana Negara dan agama satu sma lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi  konflik (M. Imam Aziz et.al, 1993:105). Abdul Aziz Thaba menambahkan bahwa setelah hubungan antagonistik, terjadi hubungan agama dan Negara yang bersifat respirkal-kritis, yakni awal dimulainya penurunan “tensi” ketegangan antara agama dan Negara.
1.         Hubungan Agama dan Negara Yang Bersifat Antagonistik
Eksistensi Islam Politik (political Islam) pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca revolusi pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan Negara. Persepsi tersebut, membawa implikasi terhadap keinginan Negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik Islam. Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja para pemimpin dan aktivis politik islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideology dan atau agama Negara (pqdq 1945 dan dekade 1950-an), tetapi mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider”. Lebih dari itu, bahkan politik Islam sering dicurigai sebagai anti ideology Negara Pancasila(bahtiar efendy, 2001:4).
Lebih lanjut Bahtiar mengatakan bahwa di Indonesia, kar antagonism hubungan politik anatara islam dn Negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistic ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan, ketika elit politik nasinal terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka. Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan Negara bergulir terus hingga periode krmerdekaan dan pasca revolusi. Pada saat ini,  tema-tema politik Islam lebih  bergulir pada tataran ideology dan simbl sesuatu yang mecapai klimaksnya pada perebatan di kunstituante pada paruh kedua dasawarsa 1950-an dari pada substansi. Pergulatan ini telah memunculkan mitos tertentu sejauh yang menyangkut pemikiran dan praktik politik islam.
Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistikm, formalistic dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan orde baru. Antara lain karena alas an-alasan seperti ini, Negara memberlakukan kebijakan the politics of containment agar wacana politik Islam yang formalistic, legalistic dan simbolistik itu tidak berkembang lebih lanjut.
Setelah pemerintahan orde baru memantrapkan kekuasaannya, terjadi kntrl yang berlebihan yang diterapkan oleh Orde Baru terhadap kekuatan politik Islam, terutama pada kelmpk radikal yang dikhawatirkan semakin militan dan menandingi eksistensi Negara.
Realitas empiric inilah yang kemudian menjelaskan bahwa hubungan agama denagn Negara pada masa ini di kenal dengan antagonistic, dimana Negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan yang ptensial dalam menandingi eksistensi Negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideology dalam menjalankan pemerintahan.
2.         Hubungan Agama Dan Negara yang Bersifat  Akomodatif
Gejala menurunnya ketegangan hubungan antara Islam dan Negara mulai terlihat pada pertengahan  tahun 1980-an . hal ini ditandai dengan semakin besarnya peluang umat Islam dalam mengembangkan wacana politiknya serta munculnya kebijakan-kebijakan yang dianggap positif bagi ukat Islam. Kebijakan-kebijakan tersebut berspektrum luas, ada  yang bersifat structural, legislative, infrastruktural dan cultural (Bahtiar Effendy, 2001:35)
Kecenderungan akmdasi Negara  terhadap Islam juga menurut Affan Gaffar ditengarai dengan adanya kebijakan ppemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan kecenderungan politik umat Islam sendiri (M. Imam Aziz et.el 1993:105). Pemerintah menyadari bahwa umat Islam merupakan kekuatan politik yang potensial, yang oleh karenanya Negara lebih memilih akomodasi terhadap Islam, karena jika Negara menempatkan Islam sebagai outsider Negara, maka konflik akan sulit dihindari yang pada akhirnya akan membawa imbas terhadap proses pemeliharaan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Thaba, munculnya sikap akomodatif Negara terhadap Islam lebih disebabkan adanya kecenderungan bahwa umat Islam Indnesia dinilai telah semakin memahami kebijakan Negara, terutama dalam konteks keberlakuan dan penerimaan asas tunggal Pancasila.
Share this article :

1 komentar:

About Me mengatakan...

Sumbernya dari mana ya??

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RAPLI BLOGGER - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger